Senin, 28 Maret 2016


Yuk Ikut Bersepeda Wisata di Danau Toba

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pariwisata bertekad menyukseskan kegiatan bersepeda wisata berkeliling di sekitar Danau Toba (Geobike Caldera Toba) pada tanggal 8 hingga 10 April 2016 yang melintasi tujuh kabupaten di Provinsi Sumatera Utara itu.

Menteri Pariwisata Arief Yahya di Jakarta, Minggu (27/3/2016), mengatakan kegiatan itu sebagai salah satu promosi Danau Toba sebagai salah satu dari 10 destinasi pariwisata prioritas unggulan Indonesia tahun 2016.

Kegiatan itu sekaligus menyambut pembentukan Badan Otorita Pariwisata Toba dalam waktu dekat ini.

Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Kemenpar menjadi "leading sector" terhadap kebutuhan infrastruktur di Toba.

Bersepeda wisata keliling Danau Toba itu diselenggarakan oleh Jendela Toba dan Rumah Karya Indonesia (RKI) sebagaimana yang telah dilakukan pada tahun lalu.

"Geobike Caldera Toba 2016" di sekitar Danau Toba melintasi tujuh kabupaten yaitu Samosir, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Simalungun, Dairi, dan Karo.

SONORA/S JUMAR SUDIYANA Patung Sigale-gale di Desa Wisata Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.
Kegiatan bersepeda wisata yang diikuti ratusan pesepeda itu untuk meningkatkan kunjungan pariwisata ke Danau Toba. Toba adalah ikon pariwisata Sumatera Utara.

Ada dua etape bersepeda itu, pertama start di Tao Silalahi-Paropo (Kabupaten Dairi)-Tongging (Kabupaten Karo)-Rumah Bolon-Simanjarunjung-Parapat (Kabupaten Simalungun).

Lalu etape kedua, Balige (Kabupaten Toba Samosir)-Silangit-Muara (Kabupaten Tapanuli Utara)-Bakkara (Kabupaten Humbang Hasundutan)-Nainggolan, dan finish di Pangururan (Kabupaten Samosir).
Editor : I Made Asdhiana
Sumber: Antara


Selasa, 10 September 2013

Danau Toba Akan Menjadi Pusat Pariwisata Dunia

  • Penulis : Fitri Prawitasari
  • Senin, 9 September 2013 | 13:39 WIB
Wisatawan domestik di Menara Pandang Tele melihat panorama Danau Toba dari ketinggian. Menara ini berada di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, | KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.

SAMOSIR, KOMPAS.com - Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan pergelaran Festival Danau Toba 2013 akan mengangkat kembali pariwisata di Danau Toba. Salah satu keunggulan festival yakni dengan mengangkat potensi budaya.

"Festival ini untuk mengangkat kembali dunia wisata Toba. Dengan budaya dan seni karena budaya menjadi puncak-puncaknya peradaban bangsa. Tortor menjadi kekuatan budaya Sumatera Utara," kata Hatta saat jumpa pers pembukaan Festival Danau Toba di Open Stage Samosir, Minggu (8/9/2013).

Selain itu, menurut Hatta, festival pun harus memunculkan keunikan misalnya dengan mengangkat olahraga air, dan juga keramahan masyarakat lokal. "Dengan festival, ini juga akan mendorong makin cepat kita membangun struktur dan lingkungan di sekitar Danau Toba," tambah Hatta.


KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Para pelancong asing diajak menari tortor di pelataran Museum Hutabolon Simannindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Minggu (1/9/2013). Ini merupakan salah satu cara untuk mengenalkan budaya dan tradisi khas Batak Toba kepada dunia luar.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar mengatakan dirinya yakin melalui festival ini akan menjadikan Danau Toba dan Pulau Samosir menjadi salah satu pusat wisata di dunia.

"Samosir ini pulau yang sangat unik dan terbesar di dunia yang ada di tengah danau.
Belum ada pulau sebesar ini di tengah danau di tempat-tempat lain. Saya yakin Toba akan menjadi pusat pariwisata dunia yang akan datang tentunya," kata Sapta.

Festival Danau Toba sebelumnya bernama Pesta Danau Toba merupakan perayaan tahunan yang diselenggarakan di Danau Toba, Sumatera Utara. Pada tahun ini, perayaan dilaksanakan pada 8 - 14 September 2013.

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT Anggota tim Ekspedisi Cincin Api Kompas mendokumentasikan kawasan rumah adat Batak di Huta Bolon, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Sabtu (23/7/2011).
Adapun perayaan berpusat di Pulau Samosir, mengangkat budaya lokal berupa rangkaian kegiatan seperti acara sulang-sulang hariapan, karnaval boneka sigale-gale, festival drum melodi, dan eksebisi berenang mengelilingi Pulau Samosir.

Selanjutnya, juga diselenggarakan lomba perahu dayung tradisional Solu Bolon, paralayang air dan dan darat, permainan tradisional, lomba menyanyi, pameran wisata dan ekonomi kreatif dari 11 kabupaten, serta ditutup acara puncak konser musik "Glittering Lake Toba".
Editor : I Made Asdhiana

Minggu, 01 September 2013

Danau Toba Terkikis, Peraih Kalpataru Kembalikan Piala ke SBY

Oleh Edward Panggabean
Posted: 02/09/2013 04:00
Danau Toba Terkikis, Peraih Kalpataru Kembalikan Piala ke SBY
Liputan6.com, Jakarta : Tiga pegiat lingkungan Danau Toba asal Sumatera Utara yang meraih Kalpataru dan Wana Lestari Berencana akan mengembalikan penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ketiga pegiat itu yaitu Marandus Sirait, Wilmar Eliaser Simanjorang dan Hasoloan Manik.

Ketiganya akan mengembalikan penghargaan itu karena pemerintah di berbagai tingkatan tidak memberikan dukungan lebih lanjut untuk pelestarian alam, salah satunya hutan yang berada di wilayah Samosir dan Toba Samosir yang telah berkurang, menyusul beroprasinya kembali perusahaan bubur kertas yang membutuhkan kayu dari alam di wilayah Danau Toba tersebut.
"Penghargaan-penghargaan yang kami terima tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi akibat kebijak keliru pemerintah. Atas dasar itulah kami akan kembalikan pada hari Selasa 3 September 2013 ke Istana," kata Hasoloan Manik di Kantor Walhi, Jakarta, Minggu (1/9/2013).
Sementara mantan Bupati Samosir Wilmar Simanjorang mengaku, sejak 7 tahun silam berbagai perusahaan mengajukan permohonan Izin Pemanpaatan Kayu (IPK) kepadanya, namun ditolak, lantaran dirinya mengerti manfaat kelestarian lingkungan.
"Saya tahu bahwa hutan semakin menipis. Kondisi ekosistem Danau Toba mengalami kerusakan dalam taraf cukup serius. Itu terlihat dari luas tutupan hutan yang terus berkurang dan kualitas air danau yang telah tercemar," ujar Wilmar.
Dia mengaku permaslahan itu pun sudah disampaikannya kepada pejabat setempat dari Bupati hingga Presiden, bahkan para lembaga penegak hukum Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.
"Kami sudah adukan maslah ini ke Bupati, Presiden SBY, Kementerian LH, Kemenhut, Gubernur Sumut, Kejagung, Mabes Polri, Kapolres Samosir. Menteri LH bilang hentikan itu (penebangan hutan) tapi cuma omong doang," ujar peraih Kalpataru dan Wanalestari itu.
Dia menjelaskan seharusnya dengan Danau Toba telah ditetapkan sebagai kawasan tujuan wisata dan kawasan strategi nasional harus dijaga fungsu kelestariannya. "Kegiatan yang bersifat merusak seperti penebangan hutan harus dihentikan, termasuk pemberian ijin kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan pengerusakan lingkungan," terang dia.
Sementara Marandus Sirait mengungkapkan hutan Telle yang berada di pinggiran Danau Toba, sudah tersisa 800 hektar, padahal hutan itu sangat berharga bagi masyarakat setempat. "Jangan dibandingkan hutan di wilayah Toba dengan Kalimantan. Kami sangat menyesalkan pemberian IPK kepada perusahaan oleh Dinas Kehutanan dan Bupati setempat. Kami harapkan Bupati segera mencabut ijin tersebut," ungkap Marandus.
Menanggapi aduan itu, perwakilan Walhi, Mukri Friatna mengatakan pihaknya mendukung langkah masyarakat dalam menyelamatkan ekosistem Danau Toba dan penyelamatan lingkungan lainnya diberbagai tempat di Indonesia. "Segala bentuk kegiatan yang bersifat merusak harus dihentikan," tegas Mukri. (Eks)

Senin, 15 Juli 2013

RAJA URANG PARDOSIR GULTOM


Raja Urang Pardosir adalah anak bungsu dari 4 (empat) orang anak Si Palang Namora yang ber-ibu-kan boru Sirait. Si Palang Namora adalah salah satu keturunan Gultom Hutapea, yang merantau ke seberang Danau Toba serta bertempat tinggal (menumpang) sebagai parrippe di daerah Sibisa, karena telah mengawini boru Sirait (Sonduk Hela). Sibisa adalah daerah yang ditempati dan di bawah kekuasaan marga Sirait. Marga Sirait adalah penghulu  daerah Sibisa, yang dalam budaya  Batak disebut Sipungka Huta atau Raja Huta atau Sisuan Bulu.  
Gultom Hutapea adalah anak kedua dari 4 (empat) bersaudara dari Toga Gultom, saudara-saudaranya yang lain  adalah Huta Toruan atau Tujuan Laut; Huta Bagot dan Huta Balian. Sedangkan keempat anak Si Palang Namora hasil perkawinan dengan boru Sirait yaitu Tumonggopulo, Namoralontung, Namorasende, dan Raja Urang Pardosir.  
Berkat kerja keras dan semangat hidup yang tak mengenal kata menyerah,  sebagai salah satu  ciri atau karakter orang  Batak yaitu pekerja keras, seperti tersirat dalam frasa  Unok ni partondian, Parhatian Sibola Timbang, Parninggala Sibola Tali, Pamoru Somarumbang, Parmahan So Marbatahi,  keadaan ekonomi  Si Palang Namora  berkembang  maju,  jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi marga Sirait yang menguasai daerah Sibisa, walaupun keberadaan Si Palang Namora di daerah Sibisa adalah Sonduk Hela.
Kemajuan ekonomi Si Palang Namora yang begitu pesat menimbulkan kekhawatiran pada keluarga Sirait bahwa suatu saat nanti daerah Sibisa yang merupakan wilayah kekuasaannya lambat laun  beralih dan dikuasai oleh Si Palang Namora. Dan bila hal itu terjadi status sosial Marga Sirait sebagai Raja Huta (Sisuan Bulu) akan direndahkan (terdegradasi) karena sangat bertolak belakang dengan  filsafat hidup masyarakat Batak yang selalu mendominasi pola kehidupannya, yaitu  ”Hasangapon, hagabeon dan hamoraan”.
Rasa khawatir keluarga Sirait sangat beralasan dan logis apalagi bila dipahami dari sudut pandang sistem nilai masyarakat Batak Toba tradisional dalam konteks kepemilikan tanah (daerah/huta).  Tanah (lebih luas : Huta), dalam sistem nilai masyarakat Batak Toba tradisional,   merupakan lambang kekuasaan, kekayaan dan memiliki nilai spiritual serta memiliki keterkaitan yang erat dengan marga “Sisuan Bulu”.  Dan oleh karenanya kehendak untuk memiliki tanah yang luas menjadi salah satu energi yang begitu kuat membentuk  masyarakat Batak Toba sebagai pekerja keras (Lulu anak, lulu tano). Artinya menjadi sesuatu hal yang merendahkan bila tanah (apalagi Huta) beralih penguasaannya kepada marga lain (Sonduk Hela atau Parrippe), sekalipun berdasarkan Adat Batak memungkinkan dilakukan dengan apa yang disebut “Mangadathon Huta”.
Dengan demikian,  memiliki tanah dalam masyarakat Batak Toba juga merupakan bentuk usaha untuk mencapai  “ Hasangaphon, Hagabeon dan Hamoraon”.
Sebagai bentuk upaya menjaga kehormatan  Hulahula  dan untuk menghindari perselisihan antara boru dengan hulahulanya di kemudian hari  serta dengan berpedoman pada Patik dan Uhum yang dalam tradisi Batak memberi penekanan terhadap unsur Hulahula yakni tidak boleh mengambil harta yang bukan miliknya terutama milik boru (hilang); Merampas harta yang bukan miliknya terutama milik boru (heum); Perasaan dengki terhadap anak maupun boru (hosom); Mengharapkan sesuatu terutama dari boru (hirim),  Si Palang Namora dengan sikap bijaknya meninggalkan daerah Sibisa dan kembali ke Pulau Samosir. Namun salah seorang anaknya, yaitu Raja Urang Pardosir  tidak ikut serta. Karena pada saat itu Raja Urang Pardosir  sedang menimba ilmu hadatuon (Kesaktian)  di daerah Hatinggian.
Daerah Hatinggian di masa itu terkenal sebagai tempat menimba ilmu Hadatuon, banyak orang bBatak dari berbagai marga belajar ilmu Hadatuon ke daerah Hatinggian.
Ilmu hadatuon yang dipelajari saat itu bersumber pada ‘Pustaha Agong’, sebuah buku laklak (kulit kayu) yang berisikan secara lengkap ilmu hadatuon. Secara mitologis, buku tersebut diwariskan oleh si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi Datu dan Datu Guru Pertama yang mengajarkan ilmu hadatuon itu kepada anak-anaknya. Pada pokoknya ada tiga katagori isi pustaha berdasarkan maksud penggunaannya, Pertama, “Ilmu” untuk memelihara kehidupan (protective magic) yang mencakupi diagnosa, terapi, ramuan obat-obatan yang bersifat magis, ajimat, parmanisan (pekasih) dan sebagainya.
Kedua, “Ilmu” untuk membinasakan kehidupan (destructive magic) yang mencakup seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulu balang dan seni membuat dorma (guna-guna pemikat cinta). Ketiga, “ilmu” meramal (divination) yang mencakup orakel (sabda dewata) yang menjelaskan kemauan roh yang dipanggil, perintah para illah dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.
Ilmu Supranatural (Hadatuon), dalam Pustaha Laklak dapat dikelompokan  sebagai berikut :
1.    Pangulubalang;
2.    Tunggal Panaluan;
3.    Pamunu Tanduk;
4.    Pamodilan/Tembak;
5.    Gadam;
6.    Pagar;
7.    Sarang Timah;
8.    Simbora;
9.    Songon;
10.     Pilukpiluk;
11.     Tamba Tua;
12.     Dorma;
13.     Paranggiron;
14.     Porsili;
15.     Ambangan;
16.     Pamapai Ulu-ulu;
17.     Ramalan Perbintangan (Pormesa na Sampulu Duwa, Panggorda na Ualu, Pehu na Pitu, Pormamis na Lima, Tajom Burik, Panei na Bolon, Porhalaan, Ari Rojang, Ari na Pitu, Sitiga Bulan, Katika Johor, Pangarambui,dll);
18.     Ramalan memakai Binatang (Aji Nangkapiring, Manuk Gantung, Aji Payung, Porbuhitan, Gorak-gorahan Sibarobat,dll);
19.     Ramalan Rambu Siporhas, Panambuhi, Pormunian, Partimusan, Hariara masundung di langit, Parsopouan, Tondung, Rasiyan, dll

Setelah beberapa lama menimba ilmu hadatuon, Raja Urang Pardosir kembali ke Sibisa untuk menjumpai kedua orang tua dan keluarganya. Namun yang dia jumpai, rumah orang tuanya sudah dalam keadaan kosong. Raja Urang Pardosir mencari informasi keberadaan orang tua dan sanak saudaranya kepada keluarga tulangnya yaitu marga Sirait. Setelah mengetahui bahwa orang tua dan saudara-saudaranya kembali ke Pulau Samosir, Raja Urang Pardosir yang telah memiliki ilmu hadatuaon  (sakti) dan didukung oleh karakter Batak yang begitu kuat yang ada padanya, bertekad untuk mencari daerah baru atau mamungka huta dan mendirikan “kerajaan” bagi keturunannya kelak.
Karena pada kala itu sistem kepemilikan tanah belum seperti yang berlaku saat ini, maka “mamungka huta” umumnya dilakukan dengan cara membuka hutan, dan saat itu belum dikenal sistim kepemilikan hutan seperti sekarang ini.
Sikap Raja Urang Pardosir ini juga merupakan bentuk aktualisasi karakter  masyarakat Batak Toba sebagai petualang, pengembara (Salah satu arti BATAK menurut KBBI), disamping sebagai bentuk pengejawantahan dari nilai-nilai budaya Batak sebagai mana dikenal dari kata marserak, manombang, mangaranto, marjalang, merlopong, mangombo, mangalului jampalan na lomak atau masiampapaga na lomak. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa orang Batak Toba suka merantau atau migrasi ke daerah lain.
Bersama dengan dua orang teman seperguruannya, yaitu Harianja dan Pakpahan, Raja Urang Pardosir keluar dari daerah Sibisa dan pergi ke daerah yang belum rencanakan sebelumnya dan bahkan belum diketahuinya. Di tengah perjalan yang tak tentu arah itu,  mereka melihat seekor Elang (Lali). Karena Raja Urang Pardosir memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi, dan salah satunya mampu berbicara dengan binatang, maka Raja Urang Pardosir berbicara dengan Elang (Lali) dan meminta Elang menunjukan tempat yang cocok untuk ditempati oleh mereka. Setelah berbicara dengan Elang itu,  Raja Urang Pardosir beserta teman seperguruannya berjalan mengikuti kemana  Elang itu terbang. Perjalanan mereka  sungguh sangat panjang dan memakan waktu yang lama hingga sampai  matahari terbenam. Pada saat hari sudah hampir gelap,  Elang yang menunjukan arah kepada mereka hinggap di sebuah pohon di daerah yang dikuasai oleh marga Pasaribu. Maka mereka pun berhenti dan mencari tempat untuk bermalam.
Kemudian Raja Urang Parodisir dan teman-temannya menghampiri salah satu rumah di daerah itu, yang kemudian diketahui rumah seseorang bermarga Pasaribu. Selanjutnya marga Pasaribu menerima  Raja Urang Pardosir dan temannya itu sebagai tamunya. Setelah tuan rumah mengetahui bahwa tamunya itu  berasal dari tempat yang jauh, dia menawarkan mereka untuk menginap di rumahnya. Sama seperti umumnya orang Batak, marga Pasaribu sangat menghormati tamunya.  Pasaribu melayani Raja Urang Pardosir dan teman-temannya itu dengan sangat baik. Salah satu cara  yang umum dilakukan oleh masyarakat Batak  menghormati tamunya adalah dengan meyediakan makanan untuk disantap bersama .
Dalam budaya  Batak, memberi makan kepada tamu memiliki nilai magis-spiritual, bukan sekedar sebuah  ritual cara menghormati tamu, melainkan upaya membangun hubungan emosional kekerabatan atau kekeluargaan serta upaya membangun sebuah harapan agar memperoleh pasu-pasu. Mayarakat Batak menyakini bahwa bila tondi si tamu dalam keadaan senang serta merasa nyaman berada di dalam rumah, maka si tamu akan memberikan pasa-pasu kepada tuan rumah sebagai imbalan atas sikap baik dan ramahnya itu. Pasu-pasu dimaksud diyakini sebagai pasu-pasu dari Mula Jadi Nabolon yang disampaikan dengan perantaraan  tamu yang datang ke rumahnya itu. 
Pada saat itu,  Pasaribu meminta istrinya untuk segera mempersiapkan  makanan bagi para tamunya, namun si Istri kebingungan karena mereka tidak memiliki hewan untuk disembelih kecuali seekor kucing. Atas perintah suaminya, Istri Pasaribu menyembelih kucing miliknya dan mengolahnya menjadi tango-tanggo sebagai pelengkap hidangan  makan malam.
Setelah makanan siap dihidangkan di tengah rumah (di tonga ni jabu), di atas tikar yang bersih (dilage na tiar), di dalam piring yang berdenting nyaring (pinggan sitio suara),  Pasaribu membangunkan tamu-tamunya yang saat istrinya memasak mereka  beristirahat. Sebelum mereka menyantap hidangan makan malam  yang disediakan tuan rumah, Raja Urang Pardosir  bertanya kepada teman-temannya, masakan daging apa yang terhidang  dihadapannya itu, namun teman-temannya pun  tidak mengetahui daging apa yang dihidangkan itu.
Lajim di kalangan komunitas orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian harus berhati-hati memakan sesuatu, karena bila tidak,  makanan yang dimakannya  dapat mengakibatkan berkurang kesaktian bahkan menyebabkan  kesaktiannya hilang, karena makanan yang dimakannya bisa jadi merupakan  makanan yang harus dihindari atau dilarang untuk dimakan.
Karena Raja Urang Pardosir memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, dia mampu berbicara dengan binatang sekalipun sudah mati, bahkan yang sudah menjadi  tango-tanggo. Saat Raja Urang Pardosir bertanya apakah yang terhidang itu daging kambing, dia tidak memperoleh jawaban, demikian juga saat dia mengatakan beberapa nama hewan berkaki empat, dia tidak memperoleh jawaban. Namun ketika dia menyebut nama Kucing (Huting), dengan tiba-tiba tango-tanggo yang terhidang dihadapan mereka itu meloncat dari tempatnya sambil mengeong. 
Melihat peristiwa itu,  Pasaribu terkejut dan bercampur takut, dan dengan spontan mereka lari pontang-panting ke luar rumahnya, karena mereka beranggapan bahwa Raja Urang Pardosir dan teman-temannya itu bukanlah manusia biasa. Dengan seketika peristiwa itu menyebar keseluruh sudut daerah itu. Tidak sedikit penduduk yang tinggal di daerah itu menjadi sangat ketakutan, dan karena sangat ketakutan mereka lari meninggalkan daerahnya itu, bahkan menurut turi-turian jumlahnya mencapai ribuan. Dari peristiwa inilah tempat itu hingga sekarang disebut Pangaribuan.
Kabar tentang kesaktian Raja Urang Pardosir dari waktu ke waktu dengan cepat menyebar keseluruh pelosok daerah itu, dan masyarakat di daerah itu sangat menghormati dan mengagumi kesaktian Raja Urang Pardosir, sehingga masyarakat memberi goar-goar  (nama julukan  yang diberikan orang banyak kepada seseorang sebagai bentuk penghormatan atas dasar  keistimewaan atau sifat tertentu)  Datu Tambun (Dukun Sakti).

Dalam masyarakat Batak,  Datu adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kemampuan di luar kemampuan normal manusia awam (supranatural) . Dalam struktur masyarakat Batak tradisional, Datu mendapat posisi terhormat karena kompetensinya di bidang membaca dan menulis aksara Batak, dan kemampuan lain seperti pengobatan, ilmu nujum, parhalaan (penanggalan) untuk membaca hari baik dan buruk.  Selain itu seorang Datu memegang fungsi dan peranan penting  dalam kelompok masyarakat territorial huta, dan berasal dari garis keturunan marga yang menempati huta.  Setiap marga dalam satu huta minimal mempunyai seorang Datu

Seorang Datu tidak serba menguasai semua bidang-bidang hadatuon (perdukunan), tetapi biasanya terdapat satu keahlian khusus yang menonjol di bidangnya. Misalnya Datu Partaoar, dengan ramuan-ramuannya lebih ahli di bidang obat penyembuh dan penawar racun, Datu Pangatiha Pandang Torus mempunyai kemampuan sebagai peramal, dan Datu Panuju keahliannya untuk mengatur cuaca, seperti mendatangkan hujan atau menangkal hujan.

Fungsi dan peran Datu di dalam masyarakat Batak kuno, sebagai :
1.    Pemimpin ritual dan religi Batak.
2.    Tabib; ahli pengobatan dengan menggunakan ramuan tradisional yaitu obat yang dibuat dari racikan dedaunan, akar-akar  atau batang tanaman (ramuan herbal) atau dalam istilah Batak disebut Tambar.  Atau dengan menggunakan obat berupa   ramuan dari racikan berbagai tambar dan bahan-bahan lain  yang berkhasiat untuk obat penawar racun, guna-guna atau obat penyembuh penyakit atau Taoar.
3.    Ahli Nujum, menggunakan parhalaan (kalender Batak), memperkirakan hari baik yang tepat (maniti ari) untuk melakukan sesuatu ulaon seperti pesta; memasuki rumah baru dan sebagainya. Ia juga dapat melakukan prakiraan (ramalan) berdasarkan gejala-gejala alam dan menggunakan media tertentu. 
4.    Penasihat dalam permasalahan hubungan antara anggota masyarakat dalam huta atau antar huta,  membentengi secara magis suatu huta atau dalam perang mempunyai aji-ajian sitorban dolok (ilmu meruntuhkan gunung).

Raja Urang Pardosir sebagai Datu Tambun atau Dukun Sakti yang memiliki ilmu  hadatuon yang tinggi sesungguhnya sudah diramalkan sejak baru lahir. Karena orang tuanya  melihat bayi yang baru dilahirkannya itu memiliki   tanda-tanda istimewa yang dikenal sebagai sahala hadatuon, sehingga kemudian kedua orang tua bayi itu member nama Raja Urang Pardosir kepada anak keempat atau anak bungsunya itu.

Bagi Bangso Batak, NAMA itu sangat penting, karena sebuah nama dimaknai mengandung pengharapan (Futuratif) atau Goar Abalan dan penggambaran kondisi atau situasi saat bayi itu lahir (Situasional) atau Goar Tulut dan Mampe Goar  (menamakan kembali nama leluhur kepada anak yang lahir).  Oleh karenanya orang tua saat memberikan nama kepada bayi yang baru lahir kerap melakukan perenungan yang mendalam atas tanda-tanda yang dimiliki bayinya itu dan tanda-tanda yang menyertai kelahiran bayinya itu. Memberi nama bukan  sekedar atau asal memberi nama sebagai pembeda dengan orang lain.

Sedangkan makna RAJA dalam konteks nama dalam budaya Bangso Batak mengandung makna : Raja di roha (pengendalikan diri dan hawa nafsu); Raja di pingkiran (berfikir jernih, bijak dan cerdas); Raja dipamerengan/Raja marpanaili (menjaga pandangan mata); Raja dipangalaho/Raja marpangalaho (perilaku sopan dan terpuji); Raja dipanghataion/Raja marsimangkudap ( santun dalam bertutur kata).

Kata URANG mengandung arti anak. Kata PARDOSIR, berasal dari kata Par yang berarti yang memiliki atau yang melakukan, dan kata Dosir, yang mengandung arti mendesir (mangullus alogo tambun).

Pada umumnya, masyarakat Batak mempercayai lima tingkat kehidupan, yaitu : (1) bortian/kandungan, (2) tubu/lahir, (3) magodang/dewasa, (4) marpinompar/ berketurunan, (5) mate/mati.
  Tingkat kehidupan ini memiliki kemiripan dengan tingkatan alam dalam agama-agama kuno, yaitu :  (1)    Aek/air = bortian/ kandungan (janin hidup dalam air); (2)    Tubu/lahir = alogo/angin (diberitakan, dikumandangkan kelahirannya dan dibanggakan); (3)    Api = magodang /dewasa (memancarkan cahaya kehidupan, telah dapat berbuat dan bertanggungjawab bagi dirinya dan bagi orang lain);  (4)    Hau/kayu = marpinompar (beranak-pinak seperti pohon dengan cabang dan  rantingnya); dan (5)    Tano/tanah = mate/mati (setelah meninggal kembali menjadi tano/tanah).

Atas dasar pemahaman terhadap budaya Batak dalam konteks pemberian nama anak disertai dengan kemampuan naluriah kedua orang tua dalam membaca tanda-tanda lahir inilah, anak keempat dari Si Palang Namora diberi nama RAJA URANG PARDOSIR, yang mengandung makna “Seorang ANAK yang  mempunyai watak seperti ANGIN, yaitu : feleksibel, baik budi, ingin selalu ada dimana-mana, empati, simpati, teliti, hati-hati, cermat, yang dapat dipercaya, bertanggung jawab, dinamisator, innovator, motivator (penggerak), pendorong, tidak suka popularirtas, tidak ambisius serta memiliki  sifat Raja di roha, Raja di pingkiran, Raja dipamerengan/Raja marpanaili, Raja dipangalaho/Raja marpangalaho, Raja dipanghataion/Raja marsimangkudap”.
Selanjutnya, Raja Urung Pardosir setelah menikah dengan boru Pasaribu (kemungkinan besar), menetap di daerah yang semula ditempati oleh marga Pasaribu (Sonduk Hela)  dan kemungkinan telah dialihkan penguasaannya kepada Raja Urang Pardosir melalui mekanisme Mangadathon Huta, yang hingga saat ini dikenal sebagai Pangaribuan
Dan oleh karenanya,  Raja Urang Pardosir yang diberi julukan Datuk Tambun dikenal sebagai keturunan Gultom Hutapea yang pertama menetap di Pangaribuan.
Raja Urang Pardosir yang beristrikan boru Pasaribu memiliki 4 (empat) orang anak, yaitu:
1.    Namora So Suharon,  tinggal di desa Parlombuan;
2.    Baginda Raja, tinggal di desa Parsibarungan;
3.    Saribu Raja, tinggal di desa Batumanumpak;
4.    Pati Sabungan, tinggal di desa Batunadua.
Selanjutnya keturunan Raja Urang Pardosir gelar Datu Tambun menyebar (marserak) ke daerah Sipirok serta ke berbagai daerah di Indonesia bahkan ke seluruh penjuru dunia

Senin, 07 Maret 2011

JEJAK LETUSAN GUNUNG TOBA BIDIKAN NASA


Pusuk Buhit di Toba kini jadi salah satu gunung yang diawasi ketat pemerintah.

Selasa, 8 Maret 2011, 10:37 WIB

Elin Yunita Kristanti


VIVAnews -- Sekitar 70.000 tahun yang lalu, sebuah megaletusan gunung berapi mengguncang Bumi. Letusan itu diyakini sebagai yang terbesar dalam kurun waktu 2 juta tahun terakhir.

Seperti dimuat situs Badan Antariksa AS, NASA, dalam waktu sekitar dua minggu, ribuan kilometer kubik puing dimuntahkan dari Kaldera Toba di Sumatera Utara. Aliran piroklastik -- awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu -- mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera.

Di Pulau Samosir, tebal lapisan abu bahkan mencapai 600 meter. Abu Toba juga menyebar ke seluruh dunia. Di India misalnya, abu ketebalan abu sampai 6 meter.

Paska letusan, Gunung Toba kolaps, meninggalkan kaldera moden yang dipenuhi air -- menjadi Danau Toba. Sementara, Pulau Samosir terangkat oleh magma di bawah tanah yang tidak meletus. Gunung Pusuk Buhit di dekat danau itu juga terbentuk pasca letusan.

Kini, melihat venetasi tropis subur yang memenuhi area tersebut, sulit dibayangkan dampak letusan gunung yang menghancurkan apapun, termasuk populasi manusia.

Padahal, kala itu, sangat sedikit makhluk bertahan hidup di bagian yang luas di Indonesia. Letusan Toba menyababkan 'musim dingin vulkanik' selama beberapa tahun, menimbulkan pendinginan global, dan mengakibatkan konsekuensi yang sangat besar bagi kehidupan di seluruh dunia.

Foto Kaldera Toba diambil oleh instrumenAdvanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) yang terpasang di Satelit Terra NASA pada tanggal 28 Januari 2006. Gambar dari dua sudut disatukan untuk menggambarkan keseluruhan area.

Kini Gunung Pusuk Buhit di Toba menjadi salah satu dari tiga gunung yang dipantau ketat pemerintah. Dua lainnya adalah Gunung Tambora dan Anak Krakatau.

Bagaimana hasil pantauan sementara? "Sampai sekarang ini, kalau Anak Krakatau berstatus waspada, sedang meletus. Yang lain dalam kondisi normal," ungkap Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono saat dihubungi VIVAnews, Selasa 8 Maret 2011.

Pusuk Buhit tidak meninggalkan catatan letusan sejak tahun 1400. Aktifivas Pusuk Buhit saat ini lebih banyak mengeluarkan air panas.

• VIVAnews

Senin, 04 Januari 2010

Ketika Bumi Berkisah Si Tao Toba dan Si Bukitbarisan

Artikel ini dimuat di buku bunga rampai Ekspedisi Geografi Indonesia Sumatera Utara 2009 (Bakosurtanal - Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional).

cover-buku“Dasar kau si anak ikan!”

Tiba-tiba Bumi berguncang keras. Gempa bumi besar mengguncang tanah pegunungan itu. Tanah retak merekah memanjang. Segera air menyembur keluar tiada henti-hentinya dari rekahan-rekahan tanah dan batuan. Di atas, mendung gelap menggantung berat di langit pekat. Petir menyambar bumi dengan suaranya yang menggetarkan hati. Hujan pun turun dengan deras terus-menerus. Si Toba baru tersadar, umpatan kepada anaknya Samosir telah membuka rahasia yang seharusnya dijaga ketat tentang asal-usul isterinya yang tadinya ikan besar cantik yang dulu didapatnya.

Penyesalan datang kemudian. Air segera menggenangi lembah tempat si Toba berada dan menenggelamkannya. Begitulah balasan atas ketidaksabaran mengurus anak mereka Samosir yang memang nakal dan rakus makan. Samosir, atas perintah ibunya yang kembali berubah menjadi ikan, berhasil selamat mendaki bukit. Lembah yang tergenang luas itu kemudian berubah menjadi danau, Tao Toba. Bukit tempat Samosir menyelamatkan diri menjadi Pulau Samosir.

Demikianlah legenda Danau Toba yang dikenal pada cerita anak-anak Nusantara. Moral cerita mengingatkan kita untuk selalu sabar mengurus anak dan menjaga kehormatan rumah tangga. Tetapi di balik itu tersirat peristiwa alam yang luar biasa tentang pembentukan Danau Toba. Secara geologis sudah dikenal luas bagaimana danau terluas di Indonesia ini terbentuk melalui peristiwa paroksismalis antara aktifitas pergerakan lempeng tektonik dan letusan-letusan volkanik.

Supervolcano Toba

Jauh dari Toba, di lapisan es yang dingin membeku di Greenland dekat Kutub Utara, pada awal dekade 1970 para ahli geologi glasial dan paleoklimatologi terheran-heran mendapati inti pengeboran es mengandung anomali endapan sulfat yang pasti berkaitan dengan endapan abu gunung api. Ribuan gunung api tersebar di atas Bumi, gunung api manakah yang endapan abunya tersebar hingga Kutub Utara? Hasil penelitian menemukan data yang mencengangkan. Clive Oppenheimer pada 2002 menyatakan anomali tersebut berhubungan dengan abu gunung api yang diendapkan oleh suatu kejadian letusan volkanik 74.000 tahun yang lalu. Endapan dengan umur sama yang lebih tebal dijumpai dari hasil pengeboran dasar laut di Samudera Hindia dan Laut Arab selama akhir 1980-an dan awal 1990-an. Semuanya ternyata berumur setara dengan endapan berwarna putih yang tersebar luas di dataran-dataran tinggi sekeliling Danau Toba. Itulah yang dikenal sebagai tuf Toba (Toba tuffs).

Di jaman prasejarah, 74.000 tahun yang lalu, diperkirakan suatu rangkaian letusan gunung api yang dahsyat telah terjadi di sepanjang retakan pada batas-batas timur laut dan barat daya Danau Toba. R.W. van Bemmelen, seorang ahli geologi Belanda – yang bukunya “The Geology of Indonesia, 1949” selalu menjadi rujukan geologi Indonesia – pada 1929 dan 1939 mengemukakan hipotesis terbentuknya Danau Toba. Menurutnya, suatu pembumbungan bagian tengah Sumatera Utara yang dikenal sebagai “tumor Batak” menjadi cikal bakal terbentuknya Danau Toba. Tumor itu meletus luar biasa dahsyat, gabungan antara proses-proses volkanik dan tektonik, menyebabkan amblesnya bagian tengah tumor tersebut membentuk cekungan memanjang barat laut – tenggara, serarah memanjang Pulau Sumatera, dan juga searah dengan Sesar Besar Sumatera dan Pegunungan Bukitbarisan. Proses itu juga menyebabkan “terungkitnya” sebagian dari amblesan, terangkat naik dengan posisi miring ke arah barat daya, membentuk Pulau Samosir.

Pendapat Bemmelen yang telah bertahan begitu lama sejak 1929 itu akhirnya terbantahkan oleh penelitian geomorfologi yang dikerjakan oleh Verstappen selama 1961 – 1973. Ia mendapati adanya teras-teras struktural di ngarai-ngarai terjal Sei Asahan di Siguragura yang di atasnya terendapkan tuf Toba. Hal itu menunjukkan bahwa Sei Asahan telah terbentuk jauh sebelum letusan dahsyat Toba menurut Bemmelen pada 1929. Artinya, ada kemungkinan cekungan Toba telah ada sebelum letusan supervolcano, atau apa yang dikenalkan oleh Bemmelen sebagai letusan volkano-tektonik. Letusan-letusan besar itu terjadi pada gunung-gunung api yang kemungkinan terjadi pada retakan-retakan dan sesar-sesar yang mengapit gawir-gawir terjal lembah Danau Toba.

Letusan-letusan besar paroksismal menyemburkan abu-abunya hingga ke lapisan-lapisan stratosfer dan disebarkan ke seluruh permukaan Bumi. Endapan tebal tentu saja jatuh di sekitar pusat letusan di sekitar Danau Toba, menghasilkan tuf Toba, batuan berwarna putih dengan butiran-butiran gelas volkanik, fragmen kuarsa, dan matriks gelas berukuran lempung. Kejadian itu tidak berlangsung dalam satu kali saja. Hasil penelitian stratigrafi lapisan tuf Toba dan pengukuran umur absolutnya, menunjukkan adanya lapisan-lapisan tuf hasil letusan sekitar 74.000, 450.000, 840.000, dan 1,2 juta tahun yang lalu, menghasilkan perulangan 375.000 tahun dengan deviasi standar 15.000 tahun (Chesner et al. 1991 dan Dehn et al. 1991, dalam Rampino & Self, 1993).

Rampino dan Self (1993) mencurigai bahwa letusan supervolcano Toba telah menghasilkan letusan abu gunung api sebesar 2.800 km3 setinggi 40 km ke angkasa yang kemudian dapat menyebabkan pendinginan permukaan Bumi secara tiba-tiba. Rampino dan peneliti lainnya menyebut gejala pendinginan global itu sebagai “volcanic winter”. Suhu Bumi rata-rata turun 3 – 5oC. Besar kemungkinan letusan 74.000 tahun yang lalu mempengaruhi penghuni Bumi dan manusia saat itu. Secara global diketahui adanya gejala populasi leher botol berkaitan dengan menurun secara drastisnya populasi manusia bertepatan pada waktu 74.000 tahun yang lalu. Di Nusantara, dengan bukti-bukti fosil yang ditemukan di Pulau Jawa, Homo erectus, dan jenis manusia yang lebih modern seperti Manusia Wajak, besar kemungkinan merasakan pengaruh besar letusan dahsyat Toba. Memang, belum ada bukti kuat fenomena Toba menyebabkan kepunahan spesies manusia, tetapi pengaruh perubahan iklim dipastikan mengubah pola kehidupan mereka.

Contoh terdekat perubahan iklim global akibat letusan gunung api adalah setelah letusan Krakatau 1883, dan terutama letusan Tambora pada April 1815 yang 10 kali lebih dahsyat daripada Krakatau 1883. Letusan itu telah menyebabkan suatu fenomena aneh yaitu turunnya salju di bulan Juli di Eropa, sehingga tahun 1815 dijuluki “the year without summer.” Tahun-tahun setelah itu menyebabkan kegagalan panen di seluruh dunia akibat kekacauan iklim global.

Awal 2005, suatu pendapat yang akhirnya diakui salah kutip oleh peneliti dari Monash University Australia, Raymond Cas, menyatakan adanya massa magma raksasa di bawah Danau Toba yang siap meletus sebagai supervolcano. Pendapat yang membuat panik ini segera dibantah banyak ahli. Sekalipun massa magma itu memang ada, tetapi letusan dahsyat tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tentu saja kita tidak berharap adanya letusan paroksismal dari supervolcano Toba, sekalipun fenomena itu dapat menghentikan gejala pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini.

sumut-srtm1Citra SRTM Sumatera Utara dengan lokasi-lokasi penting yang dirujuk pada tulisan ini

Dalam Ekspedisi Geografi Indonesia VI 2009 di Provinsi Sumatera Utara, tuf Toba teramati ketika sebagian tim memasuki suatu kawasan eksklusif di tepi Danau Toba di Merek yang bernama Taman Simalem Resort. Tempat tersebut berdisain mewah dan apik, dengan suatu plaza persis menghadap ke arah indahnya Danau Toba bagian barat laut. Tempat yang tadinya berstatus hutan lindung itu telah disulap menjadi kawasan wisata mahal, termasuk pembangunan vihara yang sedang dalam tahap penyelesaian.

Lereng-lereng terjadi pada plateau Toba di Merek dipotong dan ditimbun (cut and fill) menjadi pola jalan berliku-liku menghasilkan pemandangan yang eksotis. Vihara ditempatkan di salah satu ujung tanjung dan diapit oleh lereng-lereng terjal. Di sinilah persoalan akan muncul. Lereng-lereng terjal yang didominasi oleh tuf Toba bersifat gembur dan berpasir, serta mudah mengalami denudasi. Gejala-gejala erosi dan longsoran sudah mulai terlihat. Pengembang kelihatan mengerti benar permasalahan yang akan dihadapi. Beberapa dinding penahan dan bronjong batu telah dibangun untuk menahan ketidakstabilan lereng-lerengnya. Pemeliharaan yang nantinya terus-menerus harus terkontrol sehingga akan sangat mahal.

Lain lagi singkapan tuf Toba pada jalan ke arah Sidikalang, melalui Sumbul. Sumbul terletak persis pada garis morfologi memanjang barat laut – tenggara sebagai ekspresi Sesar Besar Sumatera. Garis ini ditempati oleh aliran Lau Renun yang menoreh tajam lembah sungainya. Di lereng Lau Renun yang terjal, tuf Toba yang keras digali sebagai batu bahan fondasi. Sementara itu pada arah yang jauh berseberangan di Doloksanggul – Onanganjang, sebagian besar batuan tuf telah mengalami alterasi. Tanah berwarna kuning, jingga, dan merah menghiasi pinggir-pinggir jalan akibat pengaruh larutan sisa magma pada proses lanjut.

Di Pulau Samosir, tuf Toba yang keras menjadi artefak-artefak peninggalan kerajaan-kerajaan kuno Batak berupa kursi-kursi dan meja altar tempat penyiksaan musuh yang tertawan. Batu-batu kursi tersebut sangat terkenal sebagai objek wisata di Siallagan, Kecamatan Simanindo. Batu tuf keras juga menjadi sarkofagus, tempat menyimpan mayat raja-raja Sidabutar di Tomok, atau patung-patung berhala. Tuf Toba yang saat diletuskan menghancurkan ekosistem sekitarnya, jauh setelah itu ternyata ikut berperan di dalam perkembangan kebudayaan kerajaan-kerajaan Batak tua di sekitar Danau Toba dan Samosir.

Tingkat kekerasan tinggi batuan tuf Toba tidak hanya dijumpai di lereng Lau Renun, Sidikalang, Kabupaten Dairi, atau di Pulau Samosir, tetapi juga tercermin dari air terjun sangat tinggi dan vertikal Sipisopiso di Merek. Apalagi di sepanjang lereng-lereng sangat terjal di ngarai Sei Asahan antara Siguragura dan Tangga, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, batuan tuf Toba selintas tampak seperti granit yang perlu beberapa kali pukulan kuat dengan palu geologi untuk memecahkannya.

Sei Asahan sebagai sungai drainase dan tempat keluarnya air Danau Toba yang maksimum berpermukaan 905 m dpl, menggerus secara vertikal dan dalam batuan tuf Toba mengikuti pola-pola retakan tektonik. Anak-anak sungainya masuk ke lembah Asahan sebagai air terjun yang tinggi, menguraikan airnya menjadi embun ketika jatuh menuruni dinding ngarai yang tegak. Aliran Sei Asahan mengarah ke timur laut untuk kemudian berubah menjadi sungai besar di Perhitian, Halado, setelah seluruh airnya keluar dari terowongan PLTA Tangga. Akhirnya sungai ini mengalir bermeander di dataran pantai timur Sumatera Utara, untuk kemudian bermuara sebagai sungai distributary yang berliku-liku pada lingkungan delta di Teluk Nibung, Tanjungbalai. Tempat ini merupakan pelabuhan ramai yang menjadi pintu perairan Selat Malaka bagi kapal-kapal menuju Selangor, Malaysia.

Empat lembar peta geologi di sekitar Danau Toba memetakan dengan jelas sebaran tuf Toba ini (Aldiss dkk. 1983, Aspden dkk. 2007, Cameron dkk. 1982, dan Clarke dkk. 1982). Tuf Toba tersebar jauh ke arah utara, dan dijumpai hingga Pematangsiantar, bahkan mencapai Tebingtinggi. Tidak perlu heran. Jika di tengah-tengah Samudera Hindia saja didapati endapan tuf Toba, jarak ke Tebingtinggi hanyalah jangkauan tidak seberapa bagi suatu letusan super-dahsyat. Ke arah selatan, tuf mengendap mengisi perbukitan dan lembah sepanjang Pegunungan Bukitbarisan sejak Sidikalang di barat laut hingga Tarutung dan Sipirok di tenggara dan selatan.

Tarutung adalah kota kecil yang sangat dikenal oleh para peneliti ilmu kebumian, khususnya yang berkecimpung dalam bidang bencana gempa bumi. Tempat yang dalam bahasa Batak berarti “durian” ini pernah diguncang gempa bumi merusak 6,6 skala Richter pada 27 April 1987. Memang jalur di Bukitbarisan itu adalah jalur retakan dan patahan aktif sepanjang Pulau Sumatera, mulai dari Teluk Semangko di Lampung, menerus ke utara melalui Bengkulu, Kerinci di Jambi, Danau Singkarak dan Padangpanjang di Sumatera Barat, Tarutung – Sidikalang di Sumatera Utara, hingga Bandaaceh.

Ciri morfologi lembah dan perbukitan memanjang sebagai hasil kegiatan tektonik aktif, tampak jelas di Tarutung, tempat Aek Sigeaon mengalir di sepanjang lembah. Kegiatan tektonik aktif yang menghancurkan kekuatan batuan juga mempengaruhi kondisi jalan antara Tarutung dan Sipirok. Di Aek Latong, ruas jalan selalu ambles. Selain karena berada pada jalur sesar aktif, ditambah lagi ada pengaruh batu lempung yang mudah hancur dan rawan longsor.
Retakan-retakan yang terbentuk di sepanjang lembah ini juga menjadi jalan bagi keluarnya air panas. Mata air panas Sipoholon dekat Tarutung yang terukur bersuhu 63,8oC menjadi tempat wisata yang ramai. Air panas Sipoholon keluar dari celah-celah batuan dan menembus tuf Toba. Endapan travertin yang terbentuk akibat air panas menerobos tuf Toba menghasilkan endapan dengan pola-pola yang menarik, berupa bentukan stalaktit dan stalagmit, serta teras-teras endapan travertin.

Ke arah tenggara masih dijumpai mata air dengan gelembung-gelembung udara dengan rasa sedikit asam sehingga penduduk menamakannya “air soda” di Parbubu. Suhu air secara umum relatif hangat, yaitu 31,5oC. Tetapi karena suhu udara juga cukup panas (30,7oC), air soda Parbubu terasa dingin ketika disentuh. Makin ke tenggara, di Sipirok, dijumpai pula mata air panas di Aek Milas Sosopan yang dimanfaatkan oleh masjid setempat sebagai air wudlu. Aek Milas dalam bahasa Batak Sipirok memang berarti “air panas.”

Mata air panas di sepanjang Tarutung – Sipirok merupakan mata air panas yang terjadi akibat patahan, sekalipun sumber air panasnya diperkirakan berasal dari sumber-sumber magmatis juga. Hal itu berbeda dengan air panas bersuhu 47,3oC yang terasa ngilu di gigi karena ber-pH sangat asam di Aek Rangat yang terletak di lereng G. Pusukbuhit, dekat Pulau Samosir. Air panas di Aek Rangat sangat jelas berkaitan langsung dengan aktifitas gunung api Pusukbuhit, sama halnya dengan air panas yang juga muncul di Lau Sidebukdebuk, dari lereng G. Sibayak, Tanah Karo

Tanah Batak yang Indah

Pada akhir perjalanan ekspedisi menjelajah Danau Toba dengan sejarah letusannya yang luar biasa serta produk-produk tufnya yang tersebar luas, kesan yang didapat adalah keterpesonaan akan bentang alam yang terbentuk akibat proses-proses alam, proses-proses geologis, tektonik dan volkanik yang berlangsung berribu-ribu tahun. Danau, plateau, gunung, perbukitan, lembah, dan sungai, serta hutan, perkebunan dan masyarakatnya, seluruhnya menyusun alam Sumatera Utara menjadi suatu harmoni alam yang indah. Sangat cocok sekali arti Tapanuli sebagai tapian nauli, daratan yang indah. Jangankan pendatang dari luar yang menjelajah hanya 10 hari di Sumatera Utara, penduduk asli Batak pun masih selalu terkagum-kagum dengan tanah kelahiran mereka.

Bagaimana cintanya orang Batak terhadap tanah kelahirannya, selalu dimisalkan ketika seorang Batak menyanyikan lagu “O Tano Batak” (1933) yang ditulis oleh S. Dis (Siddik Sitompul, 1904 – 1974) dengan sebagian liriknya sebagai berikut:

O Tano Batak halolonganhu…
O Tano Batak sinaeng hutahap,
dapot honon hu, tano hagodangan hi
(Oh Tanah Batak yang selalu kurindukan…Oh Tanah Batak yang selalu kutatap, kuingin selalu pulang kampung ke tanah kelahiran).

Seberapa keras watak orang Batak, matanya akan berkaca-kaca, bahkan mungkin menangis tersedu-sedu, saat menyanyikan lagu tersebut. Apalagi ketika datangnya perasaan rindu kampung halaman saat sedang jauh merantau.
O Tano Batak, aku pun selalu ingin kembali menikmati keindahanmu…

Pustaka

1. Aldiss, D.T., S.A. R. Whandojo, Sjaefudien A.G., and Kusjono (1983), Geologic Map of the Sidikalang Quadrangle, Sumatra 0618, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
2. Aspden, J.A., W. Kartawa, D.T. Aldiss, A. Djunuddin, D. Diatma, M.C.G. Clarke, R. Whandoyo, and H. Harahap (2007), Geologic Map of the Padangsidempuan and Sibolga Quadrangle, Sumatra 0717, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
3. Bemmelen, R.W. van (1949), The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff, The Hague, The Netherlands.
4. Cameron, N.R., J.A. Aspden, D. McC Bridge, A. Djunuddin, S.A. Ghazali, H. Harahap, Hariwidjaja, S. Johari, W. Kartawa, W. Keats, H. Ngabito, N.M.S. Rock and R. Whandoyo (1982), Geologic Map of the Medan Quadrangle, Sumatra 0619, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
5. Clarke, M.C.G., S.A. Ghazali, H. Harahap, Kusyono, and B. Stephenson (1982), Geologic Map of the Pematangsiantar Quadrangle 0718 Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
6. Oppenheimer, C. (2002), Limited Global Change Due to the Largest Quaternary Eruption Toba 74kyr BP, Quat. Sci. Rev. 21 (14-15), pp. 1593-1609.
7. Rampino, M.R., dan S. Self (1993), Climate-Volcanism Feedback and the Toba Eruption of ~ 74,000 Years Ago, Quaternary Research, Vol. 40, pp. 269-280.
8. Verstappen, H.Th. (2000), Outline of the Geomorphology of Indonesia, A Case Study on Tropical Geomorphology of a Tectogene Region, ITC, Enschede, the Netherlands.

Ribuan relawan Aksi Bersih di Danau Toba

Parapat (SIB-5 Januari 2010)
Berbagai jenis sampah di antaranya sampah plastik, pecahan botol kaca, oli kotor hingga puntung rokok kembali ditemukan di wilayah perairan kota wisata Parapat Danau Toba. Penemuan tersebut terjadi ketika ribuan relawan melakukan gerakan aksi bersih-bersih di Danau Toba, Selasa (30/12).
Keberadaan Danau Toba sering diperdebatkan oleh berbagai pihak bahkan pernah dipersepsikan sebagai “toilet raksasa”. Akan tetapi perdebatan atau persepsi negatif tentang Danau Toba ternyata mendapat sambutan dan tanggapan berbeda dari para relawan yang telah beraksi secara sukarela membersihkan perairan Danau Toba.
“Perdebatan saling menuding di antara masyarakat tentang penyebab sampah di Danau Toba sebaiknya harus segera diakhiri dan dihentikan secara bersama semua pihak baik masyarakat lokal, wisatawan, pemerintah dan seluruh stockholder yang ada harus bertanggung jawab secara bersama untuk menjaga serta melakukan pencitraan yang baik terhadap Danau Toba,”. Hal ini dijelaskan salah seorang pemerhati dan pelaku Budaya Thomson HS belum lama ini kepada Harian SIB di Parapat usai melakukan aksi bersih-bersih di Danau Toba.
Menurut Thomson HS bahwa jenis-jenis sampah yang ditemukan di Danau Toba duduga bukan saja disebabkan oleh sampah yang dihasilkan oleh masyarakat lokal saja, akan tetapi banyak pihak termasuk para wisatawan diduga pernah membuang sampah ke Danau Toba. Hal ini terbukti dari jenis-jenis sampah telah di temukan di Perairan Danau Toba,ujarnya.
Saat ini mitologi Batak di kawasan Danau Toba sudah mengalami pergeseran, perubahan telah tampak terjadi pada masyarakat sub kultur Toba, Simalungun, Karo dan sub kultur Pakpak. Bukti perubahan dapat dilihat pada tatanan pola struktur bangunan rumah yang dulunya menghadap bukit dan membelakangi danau.
Struktur bangunan rumah masyarakat di kawasan Danau Toba dulunya menghadap ke bukit dan membelakangi danau sebelumnya identik diduga sebagai salah satu faktor penyebab pencemaran ke Danau Toba, namun hasil penelitian yang dilakukan oleh budayawan muda Thomson HS menyatakan sebenarnya pola struktur bangunan rumah menghadap ke gunung dan membelakangi danau didasari oleh Mitologi Batak itu sendiri, karena di Gunung diyakini memiliki sesuatu hal yang khusus, namun saat ini Mitologi Batak tersebut sudah mengalami pergeseran dimana pola struktur rumah sudah dibangun menghadap ke Danau mengikuti sudut pandang estetika keindahan.
Perubahan atau pergeseran mitologi masyarakat di kawasan Danau Toba saat ini dapat dijadikan sebagai moment untuk melakukan penataan dan pencitraan yang baik terhadap ekosistem Danau Toba. Sebaiknya janganlagi membuang berbagai jenis sampah ke Danau Toba, ujar Thomson.(hs)