Senin, 15 Juli 2013

RAJA URANG PARDOSIR GULTOM


Raja Urang Pardosir adalah anak bungsu dari 4 (empat) orang anak Si Palang Namora yang ber-ibu-kan boru Sirait. Si Palang Namora adalah salah satu keturunan Gultom Hutapea, yang merantau ke seberang Danau Toba serta bertempat tinggal (menumpang) sebagai parrippe di daerah Sibisa, karena telah mengawini boru Sirait (Sonduk Hela). Sibisa adalah daerah yang ditempati dan di bawah kekuasaan marga Sirait. Marga Sirait adalah penghulu  daerah Sibisa, yang dalam budaya  Batak disebut Sipungka Huta atau Raja Huta atau Sisuan Bulu.  
Gultom Hutapea adalah anak kedua dari 4 (empat) bersaudara dari Toga Gultom, saudara-saudaranya yang lain  adalah Huta Toruan atau Tujuan Laut; Huta Bagot dan Huta Balian. Sedangkan keempat anak Si Palang Namora hasil perkawinan dengan boru Sirait yaitu Tumonggopulo, Namoralontung, Namorasende, dan Raja Urang Pardosir.  
Berkat kerja keras dan semangat hidup yang tak mengenal kata menyerah,  sebagai salah satu  ciri atau karakter orang  Batak yaitu pekerja keras, seperti tersirat dalam frasa  Unok ni partondian, Parhatian Sibola Timbang, Parninggala Sibola Tali, Pamoru Somarumbang, Parmahan So Marbatahi,  keadaan ekonomi  Si Palang Namora  berkembang  maju,  jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi marga Sirait yang menguasai daerah Sibisa, walaupun keberadaan Si Palang Namora di daerah Sibisa adalah Sonduk Hela.
Kemajuan ekonomi Si Palang Namora yang begitu pesat menimbulkan kekhawatiran pada keluarga Sirait bahwa suatu saat nanti daerah Sibisa yang merupakan wilayah kekuasaannya lambat laun  beralih dan dikuasai oleh Si Palang Namora. Dan bila hal itu terjadi status sosial Marga Sirait sebagai Raja Huta (Sisuan Bulu) akan direndahkan (terdegradasi) karena sangat bertolak belakang dengan  filsafat hidup masyarakat Batak yang selalu mendominasi pola kehidupannya, yaitu  ”Hasangapon, hagabeon dan hamoraan”.
Rasa khawatir keluarga Sirait sangat beralasan dan logis apalagi bila dipahami dari sudut pandang sistem nilai masyarakat Batak Toba tradisional dalam konteks kepemilikan tanah (daerah/huta).  Tanah (lebih luas : Huta), dalam sistem nilai masyarakat Batak Toba tradisional,   merupakan lambang kekuasaan, kekayaan dan memiliki nilai spiritual serta memiliki keterkaitan yang erat dengan marga “Sisuan Bulu”.  Dan oleh karenanya kehendak untuk memiliki tanah yang luas menjadi salah satu energi yang begitu kuat membentuk  masyarakat Batak Toba sebagai pekerja keras (Lulu anak, lulu tano). Artinya menjadi sesuatu hal yang merendahkan bila tanah (apalagi Huta) beralih penguasaannya kepada marga lain (Sonduk Hela atau Parrippe), sekalipun berdasarkan Adat Batak memungkinkan dilakukan dengan apa yang disebut “Mangadathon Huta”.
Dengan demikian,  memiliki tanah dalam masyarakat Batak Toba juga merupakan bentuk usaha untuk mencapai  “ Hasangaphon, Hagabeon dan Hamoraon”.
Sebagai bentuk upaya menjaga kehormatan  Hulahula  dan untuk menghindari perselisihan antara boru dengan hulahulanya di kemudian hari  serta dengan berpedoman pada Patik dan Uhum yang dalam tradisi Batak memberi penekanan terhadap unsur Hulahula yakni tidak boleh mengambil harta yang bukan miliknya terutama milik boru (hilang); Merampas harta yang bukan miliknya terutama milik boru (heum); Perasaan dengki terhadap anak maupun boru (hosom); Mengharapkan sesuatu terutama dari boru (hirim),  Si Palang Namora dengan sikap bijaknya meninggalkan daerah Sibisa dan kembali ke Pulau Samosir. Namun salah seorang anaknya, yaitu Raja Urang Pardosir  tidak ikut serta. Karena pada saat itu Raja Urang Pardosir  sedang menimba ilmu hadatuon (Kesaktian)  di daerah Hatinggian.
Daerah Hatinggian di masa itu terkenal sebagai tempat menimba ilmu Hadatuon, banyak orang bBatak dari berbagai marga belajar ilmu Hadatuon ke daerah Hatinggian.
Ilmu hadatuon yang dipelajari saat itu bersumber pada ‘Pustaha Agong’, sebuah buku laklak (kulit kayu) yang berisikan secara lengkap ilmu hadatuon. Secara mitologis, buku tersebut diwariskan oleh si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi Datu dan Datu Guru Pertama yang mengajarkan ilmu hadatuon itu kepada anak-anaknya. Pada pokoknya ada tiga katagori isi pustaha berdasarkan maksud penggunaannya, Pertama, “Ilmu” untuk memelihara kehidupan (protective magic) yang mencakupi diagnosa, terapi, ramuan obat-obatan yang bersifat magis, ajimat, parmanisan (pekasih) dan sebagainya.
Kedua, “Ilmu” untuk membinasakan kehidupan (destructive magic) yang mencakup seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulu balang dan seni membuat dorma (guna-guna pemikat cinta). Ketiga, “ilmu” meramal (divination) yang mencakup orakel (sabda dewata) yang menjelaskan kemauan roh yang dipanggil, perintah para illah dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.
Ilmu Supranatural (Hadatuon), dalam Pustaha Laklak dapat dikelompokan  sebagai berikut :
1.    Pangulubalang;
2.    Tunggal Panaluan;
3.    Pamunu Tanduk;
4.    Pamodilan/Tembak;
5.    Gadam;
6.    Pagar;
7.    Sarang Timah;
8.    Simbora;
9.    Songon;
10.     Pilukpiluk;
11.     Tamba Tua;
12.     Dorma;
13.     Paranggiron;
14.     Porsili;
15.     Ambangan;
16.     Pamapai Ulu-ulu;
17.     Ramalan Perbintangan (Pormesa na Sampulu Duwa, Panggorda na Ualu, Pehu na Pitu, Pormamis na Lima, Tajom Burik, Panei na Bolon, Porhalaan, Ari Rojang, Ari na Pitu, Sitiga Bulan, Katika Johor, Pangarambui,dll);
18.     Ramalan memakai Binatang (Aji Nangkapiring, Manuk Gantung, Aji Payung, Porbuhitan, Gorak-gorahan Sibarobat,dll);
19.     Ramalan Rambu Siporhas, Panambuhi, Pormunian, Partimusan, Hariara masundung di langit, Parsopouan, Tondung, Rasiyan, dll

Setelah beberapa lama menimba ilmu hadatuon, Raja Urang Pardosir kembali ke Sibisa untuk menjumpai kedua orang tua dan keluarganya. Namun yang dia jumpai, rumah orang tuanya sudah dalam keadaan kosong. Raja Urang Pardosir mencari informasi keberadaan orang tua dan sanak saudaranya kepada keluarga tulangnya yaitu marga Sirait. Setelah mengetahui bahwa orang tua dan saudara-saudaranya kembali ke Pulau Samosir, Raja Urang Pardosir yang telah memiliki ilmu hadatuaon  (sakti) dan didukung oleh karakter Batak yang begitu kuat yang ada padanya, bertekad untuk mencari daerah baru atau mamungka huta dan mendirikan “kerajaan” bagi keturunannya kelak.
Karena pada kala itu sistem kepemilikan tanah belum seperti yang berlaku saat ini, maka “mamungka huta” umumnya dilakukan dengan cara membuka hutan, dan saat itu belum dikenal sistim kepemilikan hutan seperti sekarang ini.
Sikap Raja Urang Pardosir ini juga merupakan bentuk aktualisasi karakter  masyarakat Batak Toba sebagai petualang, pengembara (Salah satu arti BATAK menurut KBBI), disamping sebagai bentuk pengejawantahan dari nilai-nilai budaya Batak sebagai mana dikenal dari kata marserak, manombang, mangaranto, marjalang, merlopong, mangombo, mangalului jampalan na lomak atau masiampapaga na lomak. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa orang Batak Toba suka merantau atau migrasi ke daerah lain.
Bersama dengan dua orang teman seperguruannya, yaitu Harianja dan Pakpahan, Raja Urang Pardosir keluar dari daerah Sibisa dan pergi ke daerah yang belum rencanakan sebelumnya dan bahkan belum diketahuinya. Di tengah perjalan yang tak tentu arah itu,  mereka melihat seekor Elang (Lali). Karena Raja Urang Pardosir memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi, dan salah satunya mampu berbicara dengan binatang, maka Raja Urang Pardosir berbicara dengan Elang (Lali) dan meminta Elang menunjukan tempat yang cocok untuk ditempati oleh mereka. Setelah berbicara dengan Elang itu,  Raja Urang Pardosir beserta teman seperguruannya berjalan mengikuti kemana  Elang itu terbang. Perjalanan mereka  sungguh sangat panjang dan memakan waktu yang lama hingga sampai  matahari terbenam. Pada saat hari sudah hampir gelap,  Elang yang menunjukan arah kepada mereka hinggap di sebuah pohon di daerah yang dikuasai oleh marga Pasaribu. Maka mereka pun berhenti dan mencari tempat untuk bermalam.
Kemudian Raja Urang Parodisir dan teman-temannya menghampiri salah satu rumah di daerah itu, yang kemudian diketahui rumah seseorang bermarga Pasaribu. Selanjutnya marga Pasaribu menerima  Raja Urang Pardosir dan temannya itu sebagai tamunya. Setelah tuan rumah mengetahui bahwa tamunya itu  berasal dari tempat yang jauh, dia menawarkan mereka untuk menginap di rumahnya. Sama seperti umumnya orang Batak, marga Pasaribu sangat menghormati tamunya.  Pasaribu melayani Raja Urang Pardosir dan teman-temannya itu dengan sangat baik. Salah satu cara  yang umum dilakukan oleh masyarakat Batak  menghormati tamunya adalah dengan meyediakan makanan untuk disantap bersama .
Dalam budaya  Batak, memberi makan kepada tamu memiliki nilai magis-spiritual, bukan sekedar sebuah  ritual cara menghormati tamu, melainkan upaya membangun hubungan emosional kekerabatan atau kekeluargaan serta upaya membangun sebuah harapan agar memperoleh pasu-pasu. Mayarakat Batak menyakini bahwa bila tondi si tamu dalam keadaan senang serta merasa nyaman berada di dalam rumah, maka si tamu akan memberikan pasa-pasu kepada tuan rumah sebagai imbalan atas sikap baik dan ramahnya itu. Pasu-pasu dimaksud diyakini sebagai pasu-pasu dari Mula Jadi Nabolon yang disampaikan dengan perantaraan  tamu yang datang ke rumahnya itu. 
Pada saat itu,  Pasaribu meminta istrinya untuk segera mempersiapkan  makanan bagi para tamunya, namun si Istri kebingungan karena mereka tidak memiliki hewan untuk disembelih kecuali seekor kucing. Atas perintah suaminya, Istri Pasaribu menyembelih kucing miliknya dan mengolahnya menjadi tango-tanggo sebagai pelengkap hidangan  makan malam.
Setelah makanan siap dihidangkan di tengah rumah (di tonga ni jabu), di atas tikar yang bersih (dilage na tiar), di dalam piring yang berdenting nyaring (pinggan sitio suara),  Pasaribu membangunkan tamu-tamunya yang saat istrinya memasak mereka  beristirahat. Sebelum mereka menyantap hidangan makan malam  yang disediakan tuan rumah, Raja Urang Pardosir  bertanya kepada teman-temannya, masakan daging apa yang terhidang  dihadapannya itu, namun teman-temannya pun  tidak mengetahui daging apa yang dihidangkan itu.
Lajim di kalangan komunitas orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian harus berhati-hati memakan sesuatu, karena bila tidak,  makanan yang dimakannya  dapat mengakibatkan berkurang kesaktian bahkan menyebabkan  kesaktiannya hilang, karena makanan yang dimakannya bisa jadi merupakan  makanan yang harus dihindari atau dilarang untuk dimakan.
Karena Raja Urang Pardosir memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, dia mampu berbicara dengan binatang sekalipun sudah mati, bahkan yang sudah menjadi  tango-tanggo. Saat Raja Urang Pardosir bertanya apakah yang terhidang itu daging kambing, dia tidak memperoleh jawaban, demikian juga saat dia mengatakan beberapa nama hewan berkaki empat, dia tidak memperoleh jawaban. Namun ketika dia menyebut nama Kucing (Huting), dengan tiba-tiba tango-tanggo yang terhidang dihadapan mereka itu meloncat dari tempatnya sambil mengeong. 
Melihat peristiwa itu,  Pasaribu terkejut dan bercampur takut, dan dengan spontan mereka lari pontang-panting ke luar rumahnya, karena mereka beranggapan bahwa Raja Urang Pardosir dan teman-temannya itu bukanlah manusia biasa. Dengan seketika peristiwa itu menyebar keseluruh sudut daerah itu. Tidak sedikit penduduk yang tinggal di daerah itu menjadi sangat ketakutan, dan karena sangat ketakutan mereka lari meninggalkan daerahnya itu, bahkan menurut turi-turian jumlahnya mencapai ribuan. Dari peristiwa inilah tempat itu hingga sekarang disebut Pangaribuan.
Kabar tentang kesaktian Raja Urang Pardosir dari waktu ke waktu dengan cepat menyebar keseluruh pelosok daerah itu, dan masyarakat di daerah itu sangat menghormati dan mengagumi kesaktian Raja Urang Pardosir, sehingga masyarakat memberi goar-goar  (nama julukan  yang diberikan orang banyak kepada seseorang sebagai bentuk penghormatan atas dasar  keistimewaan atau sifat tertentu)  Datu Tambun (Dukun Sakti).

Dalam masyarakat Batak,  Datu adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kemampuan di luar kemampuan normal manusia awam (supranatural) . Dalam struktur masyarakat Batak tradisional, Datu mendapat posisi terhormat karena kompetensinya di bidang membaca dan menulis aksara Batak, dan kemampuan lain seperti pengobatan, ilmu nujum, parhalaan (penanggalan) untuk membaca hari baik dan buruk.  Selain itu seorang Datu memegang fungsi dan peranan penting  dalam kelompok masyarakat territorial huta, dan berasal dari garis keturunan marga yang menempati huta.  Setiap marga dalam satu huta minimal mempunyai seorang Datu

Seorang Datu tidak serba menguasai semua bidang-bidang hadatuon (perdukunan), tetapi biasanya terdapat satu keahlian khusus yang menonjol di bidangnya. Misalnya Datu Partaoar, dengan ramuan-ramuannya lebih ahli di bidang obat penyembuh dan penawar racun, Datu Pangatiha Pandang Torus mempunyai kemampuan sebagai peramal, dan Datu Panuju keahliannya untuk mengatur cuaca, seperti mendatangkan hujan atau menangkal hujan.

Fungsi dan peran Datu di dalam masyarakat Batak kuno, sebagai :
1.    Pemimpin ritual dan religi Batak.
2.    Tabib; ahli pengobatan dengan menggunakan ramuan tradisional yaitu obat yang dibuat dari racikan dedaunan, akar-akar  atau batang tanaman (ramuan herbal) atau dalam istilah Batak disebut Tambar.  Atau dengan menggunakan obat berupa   ramuan dari racikan berbagai tambar dan bahan-bahan lain  yang berkhasiat untuk obat penawar racun, guna-guna atau obat penyembuh penyakit atau Taoar.
3.    Ahli Nujum, menggunakan parhalaan (kalender Batak), memperkirakan hari baik yang tepat (maniti ari) untuk melakukan sesuatu ulaon seperti pesta; memasuki rumah baru dan sebagainya. Ia juga dapat melakukan prakiraan (ramalan) berdasarkan gejala-gejala alam dan menggunakan media tertentu. 
4.    Penasihat dalam permasalahan hubungan antara anggota masyarakat dalam huta atau antar huta,  membentengi secara magis suatu huta atau dalam perang mempunyai aji-ajian sitorban dolok (ilmu meruntuhkan gunung).

Raja Urang Pardosir sebagai Datu Tambun atau Dukun Sakti yang memiliki ilmu  hadatuon yang tinggi sesungguhnya sudah diramalkan sejak baru lahir. Karena orang tuanya  melihat bayi yang baru dilahirkannya itu memiliki   tanda-tanda istimewa yang dikenal sebagai sahala hadatuon, sehingga kemudian kedua orang tua bayi itu member nama Raja Urang Pardosir kepada anak keempat atau anak bungsunya itu.

Bagi Bangso Batak, NAMA itu sangat penting, karena sebuah nama dimaknai mengandung pengharapan (Futuratif) atau Goar Abalan dan penggambaran kondisi atau situasi saat bayi itu lahir (Situasional) atau Goar Tulut dan Mampe Goar  (menamakan kembali nama leluhur kepada anak yang lahir).  Oleh karenanya orang tua saat memberikan nama kepada bayi yang baru lahir kerap melakukan perenungan yang mendalam atas tanda-tanda yang dimiliki bayinya itu dan tanda-tanda yang menyertai kelahiran bayinya itu. Memberi nama bukan  sekedar atau asal memberi nama sebagai pembeda dengan orang lain.

Sedangkan makna RAJA dalam konteks nama dalam budaya Bangso Batak mengandung makna : Raja di roha (pengendalikan diri dan hawa nafsu); Raja di pingkiran (berfikir jernih, bijak dan cerdas); Raja dipamerengan/Raja marpanaili (menjaga pandangan mata); Raja dipangalaho/Raja marpangalaho (perilaku sopan dan terpuji); Raja dipanghataion/Raja marsimangkudap ( santun dalam bertutur kata).

Kata URANG mengandung arti anak. Kata PARDOSIR, berasal dari kata Par yang berarti yang memiliki atau yang melakukan, dan kata Dosir, yang mengandung arti mendesir (mangullus alogo tambun).

Pada umumnya, masyarakat Batak mempercayai lima tingkat kehidupan, yaitu : (1) bortian/kandungan, (2) tubu/lahir, (3) magodang/dewasa, (4) marpinompar/ berketurunan, (5) mate/mati.
  Tingkat kehidupan ini memiliki kemiripan dengan tingkatan alam dalam agama-agama kuno, yaitu :  (1)    Aek/air = bortian/ kandungan (janin hidup dalam air); (2)    Tubu/lahir = alogo/angin (diberitakan, dikumandangkan kelahirannya dan dibanggakan); (3)    Api = magodang /dewasa (memancarkan cahaya kehidupan, telah dapat berbuat dan bertanggungjawab bagi dirinya dan bagi orang lain);  (4)    Hau/kayu = marpinompar (beranak-pinak seperti pohon dengan cabang dan  rantingnya); dan (5)    Tano/tanah = mate/mati (setelah meninggal kembali menjadi tano/tanah).

Atas dasar pemahaman terhadap budaya Batak dalam konteks pemberian nama anak disertai dengan kemampuan naluriah kedua orang tua dalam membaca tanda-tanda lahir inilah, anak keempat dari Si Palang Namora diberi nama RAJA URANG PARDOSIR, yang mengandung makna “Seorang ANAK yang  mempunyai watak seperti ANGIN, yaitu : feleksibel, baik budi, ingin selalu ada dimana-mana, empati, simpati, teliti, hati-hati, cermat, yang dapat dipercaya, bertanggung jawab, dinamisator, innovator, motivator (penggerak), pendorong, tidak suka popularirtas, tidak ambisius serta memiliki  sifat Raja di roha, Raja di pingkiran, Raja dipamerengan/Raja marpanaili, Raja dipangalaho/Raja marpangalaho, Raja dipanghataion/Raja marsimangkudap”.
Selanjutnya, Raja Urung Pardosir setelah menikah dengan boru Pasaribu (kemungkinan besar), menetap di daerah yang semula ditempati oleh marga Pasaribu (Sonduk Hela)  dan kemungkinan telah dialihkan penguasaannya kepada Raja Urang Pardosir melalui mekanisme Mangadathon Huta, yang hingga saat ini dikenal sebagai Pangaribuan
Dan oleh karenanya,  Raja Urang Pardosir yang diberi julukan Datuk Tambun dikenal sebagai keturunan Gultom Hutapea yang pertama menetap di Pangaribuan.
Raja Urang Pardosir yang beristrikan boru Pasaribu memiliki 4 (empat) orang anak, yaitu:
1.    Namora So Suharon,  tinggal di desa Parlombuan;
2.    Baginda Raja, tinggal di desa Parsibarungan;
3.    Saribu Raja, tinggal di desa Batumanumpak;
4.    Pati Sabungan, tinggal di desa Batunadua.
Selanjutnya keturunan Raja Urang Pardosir gelar Datu Tambun menyebar (marserak) ke daerah Sipirok serta ke berbagai daerah di Indonesia bahkan ke seluruh penjuru dunia

2 komentar:

Ara Gultom mengatakan...

salam kenal, saya Mangara Maitlando Gultom (Huta Pea #18), opung saya bernama Purn. TNI AD Soilangon Gultom (alm). saya kebingungan mencari tarombo saya, memang sih bisa bertanya kepada keluarga, tapi aku ragu bisa mendapatkan jawabannya.

Unknown mengatakan...

saya ranto gultom...
saya mau minta tolong tentang silsilah opung gara bosi yang selengkapnya.
mohon bantuan nya.